Melacak 12 Goa Jepang di Watukosek, Gempol

Jepang hanya 3,5 tahun di Indonesia.  Namun, jejak pendudukan militernya masih ada hingga ini. Paling banyak adalah Goa Jepang.  

Masyarakat menyebutnya begitu, lantaran goa-goa itu dibangun oleh tenaga kerja paksa (romusha) di bawah ancaman bedil tentara Dai Nippon yang saat itu berkuasa di Indonesia. Begitu menduduki suatu daerah, membuat goa adalah prioritas bagi tentara Jepang.   

Goa Jepang banyak ditemui di sudut-sudut tanah air, mulai dari pantai hingga daerah pedalaman. Termasuk di Gunung Prau, Watukosek, dan Gempol Pasuruan. 

Jika di tempat lain, Goa Jepang hanya ada satu atau dua. Namun, Goa Jepang di Gunung Prau jumlahnya ada 12. 

Mulanya, tak banyak yang tahu kalau Gunung Prahu -yang sebenarnya bukan gunung tapi bukit kecil- menyimpan jejak balatentara Jepang. Pemuda Dusun Ngelawang, Desa Watukosek, Kecamatan Gempol, Pasuruan-lah yang menemukan goa-goa Jepang itu. 

Tergabung dalam Komunitas Bongso Alus, para pemuda Dusun Ngelawang ini  dengan cermat menelisik, melacak, mencari jejak  di sisi Barat Gunung Prau sehingga akhirnya ditemukan 12 Goa Jepang. Tentunya, penemuan ini jadi viral. Goa Jepang di  Gunung Prau pun jadi objek wisata dadakan. 

dokpri

dokpriRute Perjalanan 

Pagi itu, setelah berdoa bersama, dengan 2 kendaraan, saya, Sentot dan Toriza mengadakan outing/ hunting KIR (Kelompok Ilmiah Remaja). Anggotanya, siswa kelas X sebanyak 21 orang.  

Anggota baru ekstrakurikuler KIR ini mulai saya kenalkan kegiatan riset lapangan sederhana sekaligus hunting jurnalistik. Tujuan awal, mendokumentasikan objek dan membuat laporan jurnalistik. Syukur-syukur nantinya bisa ditindaklanjuti dengan buat karya tulis. 

Jalan raya jalur Prigen-Pandaan pagi itu lumayan ramai. Sepeda motor sangat mendominasi. Maklum lagi jam sibuk. Jam-nya anak-anak pada berangkat ke sekolah. Jam-nya para pegawai/ buruh/ pedagang menuju lokasi kerjanya.  

Sampai di Pandaan, lalu lintas makin padat. Ini karena Pandaan adalah  jalur utama penghubung dua  kota besar di Jawa Timur yakni Surabaya dan Malang. 

Menuju Gempol (arah Surabaya), kami beriringan di belakang truk-truk besar yang memenuhi jalan. Sebenarnya, sudah ada jalan tol dari Pandaan ke Surabaya. 

Tapi entahlah, truk-truk kelas berat enggan melewatinya. Mereka lebih enjoy lewat jalur non tol alias jalur konvensional. Akibatnya, aspal jalan pun meliuk di sana sini. 

Akibat dilindas beban berat setiap hari. Tak sampai 30 menit, kami sampai di petigaan Apollo, Gempol. Jika ambil jalur lurus, akan menuju Kejapanan dan Surabaya. Bisa juga ke Pasuruan. Saya pilih belok kiri. Lewat jalan kampung yang lebar. Menghindari kemacetan di pertigaan Kepajapan.

Jalan kampung inipun penuh dengan dump truck yang hilir mudik. Mereka adalah pekerja berat yang tiap hari mengangkut tanah galian (tanah uruk). 

Tanah uruk ini kebanyakan digunakan untuk menguruk lokasi bakal pabrik. Juga menguruk landasan jalan tol. Tak lama, tiba juga di Desa Carat, sebelah barat Kejapanan. 

Sempat bertanya pada penduduk setempat tentang lokasi Goa Jepang. “Nanti di pertigaan setelah SPBU Carat, belok kiri, ” kata penjual nasi di warung pinggir jalan. ” Itu di depan sana.  Hanya 500 meter dari sini, ” kata penjual nasi sambil telunjukknya menunjuk ke arah ujung jalan. 

Segera, kendaraan saya berjalan terlebih dahulu. Berjalan pelan di jalur paling kiri,  dengan menghidupkan lampu sein kiri. Lalu lintas sangat padat karena ini adalah jalur utama Kejapanan – Mojosari Mojokerto.  

Benar, di ujung jalan sebelum belokan, ada papan nama bertuliskan “Wisata GOA JEPANG Watukosek”.  Kami pun segera memasuki areal  yang masih sepi. 

Melewati sebuah stan penjual bunga yang lagi menata dagangannya. Lokasi ini ternyata tepat di Timur markas Brigade Mobil (BRIMOB) Watukosek, Gempol,  Pasuruan. 

Selamat Datang (dokpri)

Selamat Datang (dokpri)

Goa Pertama, habitat Kelalawar (dokpri)

Goa Pertama, habitat Kelalawar (dokpri)

Tim KIR SMA Sejahtera Prigen, Pasuruan (dokpri)

Tim KIR SMA Sejahtera Prigen, Pasuruan (dokpri)Konstruksi Bata Merah

Kami disambut gapura sederhana dari bambu, beratap alang-alang kering saat tiba di lokasi. Ada banner bertuliskan “Selamat Datang di Cagar Budaya Goa Jepang”. Segera, seluruh peserta turun dari kendaraan.   

Memasuki pelataran masih berupa tanah yang kering dan agak berdebu. Di sisi kiri adalah tebing bukit ditumbuhi kayu Kaliandra yang kering meranggas. 

Maklum musim kemarau. Hanya beberapa kayu Sengon Laut yang menyisakan daun hijaunya. Semua peserta saya arahkan ke menuju Goa Jepang 1, yang paling dekat dengan tempat parkir kendaraan.

Goa Jepang pertama ini nampak jelas sosoknya. Dibuat dengan melubangi dinding bukit. Mulut goa ada di sisi Barat. Agar tidak runtuh, goa buatan ini diperkuat dengan  pasangan Bata Merah sepanjang sisi dan plafond-nya. Saya perkirakan, lebar dan tinggi mulut goa ini sekitar dua meter. 

Begitu mendekat ke mulut goa, tercium aroma yang kurang sedap serta bunyi mencicit dari dalam goa. Sepertinya, goa ini adalah habitat Kelelawar. Sebenarnya penasaran ingin masuk, tapi ada tulisan peringatan “Dilarang Masuk Goa”. Maka, niat masuk goa  pun diurungkan. 

Dari goa pertama, peserta kegiatan saya briefing lalusaya persilahkan melakukan aktifitas hunting sesuai naluri masing-masing. Semua bergerak mencari jejak goa berikutnya. 

Berjarak 50 meter dari goa pertama, ada papan petunjuk kecil sebagi penanda Goa 2. Maju 50 meter lagi ketemu Goa 3. kondisi kedua goa ini hanya tampat plafond atas mulut goanya. Tersisa lubang sempit, semacam  sarang musang. Hampir 90 persen mulut goa tertimbun tanah. 

Goa 2, mirip sarang Musang (dokpri)

Goa 2, mirip sarang Musang (dokpri)

Pelataran sisi Barat Gunung Prau (dokpri)

Pelataran sisi Barat Gunung Prau (dokpri)Saya menghubungi teman yang tinggal di wilayah Gempol, karena tak seorangpun yang saya temui pagi itu di lokasi. Informasinya, pemuda yang bergabung dalam Komunitas Bongso Alus, dari Dusun Ngelawang lah yang telah menelisik, melacak, mencari jejak  goa-goa ini. 

Awalnya, masyarakat sekitar Gunung Prau juga tidak tahu kalau ada goa di sisi barat bukit ini.  Berbekal alat seadanya, mereka mereka-reka, menggali, mengaduk-aduk timbunan tanah sehingga akhirnya menemukan banyak goa.

Logo Komunitas (dokpri)

Logo Komunitas (dokpri)

Goa 4, nyaman dimasuki (dokpri)

Goa 4, nyaman dimasuki (dokpri)Eksplorasi Goa

Kami terus bergerak menyusuri pelataran Gunung Prau. Banyak  spot-spot selfie yang sudah dibuat untuk mempercantik lokasi wisata dadakan ini. Beberapa warung sederhana juga sudah disiapkan di sisi kanan jalan masuk. 

Akhirnya, tiba di Goa 4. Dari luar, hanya tampak separuh mulut goa. Begitu saya dekati, tak ada bau amis kotoran Kelelawar. Spontan, naluri penjelajah dan rasa penasaran, mengajak kaki melangkah memasuki  goa. Saya ajak beberapa anak yang kebetulan membuntuti saya untuk masuk.

Agak merunduk  saya masuk  mulut goa. Setelah melewati mulut goa, ternyata di dalamnya cukup lapang. Kegelapan menyergap saat di dalam goa. Sorotan senter HP  sesekali saya arahkan ke sudut-sudut dan saya arahkan ke depan. 

Kuatir saat berjalan menabrak sesuatu. Sebagian dinding goa nampak basah. Ada rembesan air di beberapa bagiannya. Nampaknya, pengelola sudah menyiapkan deretan lampu yang dipasang di dinding goa. Sayangnya pagi itu belum ada petugas sehingga tidak dinyalakan.

Setelah berjalan hampir 30-40 meter, kami tiba di ujung goa. Ternyata buntu. Dalam keremangan saya amati konstruksi goa buatan jaman Jepang ini. Lebarnya tidak kurang dari lima meter. Tinggi plafond-nya sekitar empat meter. 

Mulai dari mulut goa sampai batas akhir, dinding dan plafond diperkuat dengan pasangan Bata Merah. Dibuat memutar membentuk lengkungan. Daya lekat antar bata merah sangat kuat. Tidak ada bagian-bagian yang ambrol di didingnya.  Entah campuran apa yang digunakan.

Dalam kegelapan Goa 4 (dokpri)

Dalam kegelapan Goa 4 (dokpri)

Konstruksi Bata Merah (dokpri)

Konstruksi Bata Merah (dokpri)

Goa 4 (dokpri)

Goa 4 (dokpri)Melihat demikian luasnya goa ini, kemungkinan besar di jamannya goa-goa ini digunakan sebagai tempat menyimpan logistik juga amunisi. Bisa jadi juga sebagai tempat hunian sementara. 

Karena di dalam goa bisa menampung sekitar 40-50 orang. Tapi jika sebagai tempat tinggal permanen kurang memenuhi syarat karena tidak ada sirkulasi udara yang memadai,

Keluar dari Goa 4, kami kembali melacak keberadaan goa berikutnya.  Setelah berjalan sekitar 50 meter, kembali kami temukan Goa 5. Mulut Goa-nya nampak bersih. 

Hampir seratus persen tampak utuh. Sama seperti goa sebelumnya. Dibangun dengan konstruksi Bata Merah. Tapi sekali lagi, kami mencium aroma kurang sedap dari dalam goa sehingga tidak tertarik untuk memasukinya. 

Jangan dipaku (dokpri)

Jangan dipaku (dokpri)

Goa 7 (dokpri)

Goa 7 (dokpri)

Goa 7 (dokpri)

Goa 7 (dokpri)Akhirnya, matahari pun mulai naik. Peluh mulai mengalir pelan. Udara disekitar lokasi Goa Jepang cukup panas. Setelah dua jam melacak Goa Jepang di kawasan Gunung Prau, kami menjumpai ada sekitar 12 goa. 

Beberapa goa terakhir yang kami  temui kondisi mulut goanya masih tertimbun tanah. Hanya menyisakan lubang-lubang sempit seperti sarang binatang melata. 

Melihat tinggalan yang ada di kawasan ini, sudah selayaknya jika kawasan ini ditetapkan sebagai Cagar Budaya Daerah. Ditilik dari usianya sudah lebih dari 50 tahun. Tidak banyak tempat yang mempunyai koleksi goa semacam dan sebanyak  ini.  

Bahkan, ada seorang teman pengamat sejarah  berpendapat goa ini sudah ada sejak jaman Belanda. Lalu digunakan kembali saat Jepang menduduki Jawa. 

Bahkan, teman saya dari Gempol  mengungkapkan, masih ada goa alami yang menarik untuk dieksplorasi jika kita berjalan terus ke Selatan dan masuk hutan. Semoga ke depan, ada dukungan maksimal dari pemerintah daerah dan  BPCB Jawa Timur untuk melestarikan objek cagar budaya ini.

Sekaligus memberi ruang bagi masyarakat sekitar untuk mengembangkan ekonnomi kreatifnya. Langkah awal Komunitas Bongso Alus (Bangsa Halus yang sering dianalogikan sebagai penghuni alam ghaib) patut diapresiasi dan ditindaklanjuti. 

Para penjelajah (dokpri)

Tinggalkan komentar