Menelusuri Jejak Hoakiau (Etnis Tionghoa) Di Jawa Timur (1)

Diperkirakan pada saat Dinasti Han berkuasa di Cina/Tiongkok (abad 1-6 M), Tiongkok telah mengenal Indonesia, sebagaimana diceritakan dalam tambo atau kronik Han. Laporan dari agamawan Cina, Fa Hsien pada abad ke-5 makin memperkuat dugaan ini. Begitu pula laporan I Tsing pada abad ke-7, sudah ada pendatang dari Cina (Tiongkok) ke Indonesia, sedangkan ahli hukum Hwui Ning dalam abad ke-7 sudah menetap 3 tahun lamanya di Jawa.  Itupun tanpa catatan pasti berapa jumlah orang Cina yang menetap di Nusantara.

Peristiwa besar di Nusantara yang melibatkan orang Cina muncul ketika Meng Ci, utusan Kaisar Mongol (Tartar) yang meruntuhkan Dinasti Song di Cina, mendarat di Pesisir Utara Pulau Jawa. Tujuannya ke Singhasari, menyampaikan pesan agar Kertanegara, Raja Singhasari menyatakan takhluk pada kekaisaran Mongol. Tentu saja pesan dan ancaman ini ditolak mentah-mentah oleh Kertanegara Dikirimnya pesan balik ke Kaisar Mongol, bahwa Singhasari adalah kerajaan besar yang tidak mau tunduk pada siapapun. Termasuk pada hagemoni kekaisaran Mongol yang saat itu menguasai daratan Cina.

Ini berlanjut dengan runtuhnya Singhasari akibat serangan Jayakatwang dari Glang-glang. Puncaknya adalah mendaratnya armada besar kekaisaran Mongol, yang bertujuan menyerang Singhasari. Tapi akibat kecerdikan Sanggramawijaya, kekuatan besar ini berhasil digunakan untuk menghantam Glang-glang, yang telah meruntuhkan Singhasari pada masa sebelumnya. Dengan jitu dan lihai pula, Sanggramawijaya akhirnya bisa mengusir armada Mongol dari tlatah tanah Jawa yang telah memberinya jalan menghancurkan Glang-glang dan menegakkan kembali dinasti Singhasari. Maka, di tahun 1293 berdirilah Majapahit sebagai penerus tahta Singhasari di tanah Jawa.

Dalam beberapa abad berikutnya, Dinasti di Cina silih berganti, yang secara politis mendorong migrasi ke luar daratan Cina. Akibatnya, jumlah Etnis Cina di Nusantara semakin bertambah. Mereka umumnya berasal dari provinsi-provinsi di Cina Selatan yakni Guangdong dan Fujian. Mereka mendarat hampir di seluruh penjuru Nusantara. Namun, dalam jumlah besar mereka terkonsentrasi di pusat-pusat kota di Jawa saat itu dan pesisir utara Pulau Jawa.

GEGER PECINAN

 Saat Belanda menduduki Jawa dan dengan mendirikan VOC tahun 1602, konsentrasi etnis Cina di Batavia juga semakin meningkat. Jumlah etnis Cina yang besar di Batavia menimbulkan dampak sosial, politik dan ekonomi yang luar biasa. Salah satunya, seringnya muncul tindakan-tindakan kriminal yang melibatkan orang-orang Cina. Tentu VOC tidak tinggal diam. Berbagai upaya represif pun dilakukan. Akibat tekanan yang luar biasa dari pemerintah VOC terhadap etnis ini, maka di tahun 1740 terjadi kerusuhan Anti Cina di Batavia. Tidak kurang dari 6000 — 10000 orang Cina terbunuh akibat peristiwa ini yang kemudian disebut sebagai Geger Pecinan.

Kerusuhan ini akhirnya meluas dan jadi perang besar antara tahun 1740-1743. Tidak hanya di Batavia, tapi menyebar sampai ke pedalaman. Bahkan, perang merembet ke hampir seluruh pesisir Pantai Utara Jawa, dimana pemberontak Cina didukung penguasa lokal dan penduduk pribumi menentang VOC. Akhirnya, perlawanan etnis Cina dapat diberangus dan penguasa VOC menerapkan aturan-aturan ketat pada etnis Cina baik di Batavia maupun di tempat-tempat lain yang jadi kekuasaannya.

Akibat kerusuhan dan perang ini, mendorong terjadinya pergeseran pemukiman Etnis Cina di Jawa.  Beberapa pemukim awal Cina di Pantai Utara Jawa, mulai bergeser ke arah Timur. Ke Surabaya, Pasuruan bahkan sampai Banyuwangi.

keramik2-5bb97bb2aeebe119d34d2e62.jpg

keramik2-5bb97bb2aeebe119d34d2e62.jpgHOAKIAU/ CINA Totok dan CINA PERANAKAN

Pada dasarnya, Etnis Cina di Nusantara dapat dikelompokkan jadi 2 kelompok besar, yaitu Hoakiau atau Cina Totok dan Cina Peranakan. Cina totok atau Hoakiau adalah untuk menyebut Etnis Cina lahir di Cina yang baru mendarat di Nusantara. Mereka memakai bahasa Cina saat komunikasi sehari-hari. Secara administratif, masih warga negara Cina. Mereka adalah pendatang yang eksodus dari daratan Cina sehingga sampai di Nusantara dengan alasan-alasan yang bersifat pribadi. Mulai dari alasan ekonomi, politik dan sosial.

Hoakiau berasal dari kata hua dan qiao. Kata Hua merujuk pada suku Hua yang sudah mendiami daratan Cina bagian Utara sejak 5000 tahun lalu. Suku ini merupakan cikal bakal suku mayoritas terbesar Cina saat ini. Sedangkan Qiao berarti “tinggal sementara di luar negeri“. Tinggal sementara di luar negeri ini bisa berarti berdagang, merantau atau berwisata. Jadi Haokiau artinya, orang dari suku Hua yang sedang pergi ke luar negeri, dan masih berstatus warga Negara Cina.

Cina Peranakan, digunakan untuk menyebut etnis Cina yang merupakan keturunan dari hasil perkawinan Etnis Cina dengan Pribumi (warga asli). Mereka beranak pinak, lahir dan besar di Indonesia.

Untuk selanjutnya, di dalam tulisan ini digunakan kata Cina dan Tionghoa yang keduanya adalah memiliki kesamaan arti. Tentang keberadaan etnis Cina ini, menarik apa yang dikatakan Pramoedya Ananta Toer:

Orang-orang Tionghoa) bukan pendarat dari luar negeri. Mereka sudah ada sejak nenek moyang kita. Mereka itu sebenarnya orang-orang Indonesia, yang hidup dan mati di Indonesia juga, tetapi karena sesuatu tabir politik tiba-tiba menjadi orang asing yang tidak asing

 Bersambung

Ref

  • Ananta Toer, Pramoedya. 1998. Hoakiau di Indonesia.Jakarta: Penerbit Garba Budaya
  • Handinoto. 2015. Perkembangan Kota Di Jawa. Jogjakarta: Penerbit Ombak
  • Suwardono, Tafsir Baru Kesejarahan Ken Angrok, Jogjakarta: Penerbit Ombak

Tinggalkan komentar