Selepas Gilimanuk, perjalanan dilanjutkan ke Cekik. Tujuannya hanya satu: Denpasar. Karena acara di rumah saudara malam hari , maka seharian ini harus keliling Bali. Karena besok pagi harus sudah kembali ke Jawa. Diputuskan lewat jalur Utara. Maka kendaraan pun meluncur menuju Pulaki lalu Celukanbawang. Perjalanan menyenangkan. Jalan mulus dan sepi. Jarang bertemu kendaraan, malah sering bertemu laut di kiri jalan. Sungguh sangat mengasyikkan karena ditemani ombak dan angin sepoi-sepoi.
Selama perjalanan jalur lintas Utara Bali, tak kurang ada 5 masjid lumayan besar dijumpai di beberapa kampung. Akhirnya sampai juga di Singaraja. Jika belok kanan, naik gunung akan sampai di Danau Baratan. Jika perjalanan dilanjutkan akan turun ke Sangeh, tempat kerajaan monyet ekor panjang. Tapi, kami ambil lurus saja menuju Kubutambahan. Baru belok kanan naik gunung menuju Kintamani. Bukit yang dipopulerkan Ebiet G. Ade itu.
Panorama hutan menjelang Kintamani sangat mengesankan. Sayangnya hujan deras sehingga panoramannya tak terabadikan. Padahal sudah niat cari tempat dan duduk santai di pinggir jalan di Kintamanani. Membayangkan seperti yang dilantunkan Ebiet. G Ade, sambil makan siang. Akhirnya diputuskan untuk terus berjalan. Tiba di Penelokan. Hujan mulai reda. Tampak di kejauhan Gunung Batur berdiri dipayungi awan. Perjalanan pun dilanjutkan menuruni bukit. Tiba di pinggir Danau Batur, Desa Batur, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli. Danau Batur merupakan danau terbesar di Bali yang sebenarnya adalah danau kaldera. Kalau Bromo kalderanya berupa lautan pasir, di Batur kalderanya lautan air. Pura di Danau Batur banyak dihubungkan dengan Empu Kuturan saudara Empu Bharada yang ada di Jawa pada abad ke-10 masehi.. Konon saat itu, Empu Bharada meminta agar Empu Kuturan membagi Kerajaan Bali untuk anak Airlangga tapi ditolak karena Airlangga sudah berdiam di Jawa sejak lama.
Di Danau Batur, sepanjang mata memandang nampak air danau yang biru, dibatasi bukit-bukit dan gunung. Tampak di kejauhan, awan putih padat memayungi puncak Gunung Batur. Nampaknya, hujan deras ada di daerah gunung. Air di Danau Batur nampak tenang. Beberapa nelayan mengadu nasib dengan memancing mengunakan sampan kecil. Suasana sekitar danau sepi. Tak banyak wisatawan berkunjung. Tapi itu ada untungnya. Tidak sumpek melihat jubelan manusia di lokasi wisata, he he he…. Beberapa perahu Boatditambatkan dipinggir danau. Nampak beberapa diantaranya sudah tua.. Kesibukan hanya ditampakkan ibu-ibu penjaja souvenir yang ulet menawarkan dagangan. Begitu satu dibeli, lainnya segera mendekat dan berkerumun meminta bagian rejeki. Kadang sebel juga dibuatnya. Saya sempat bertanya, ternyata menyeberang ke Trunyan ongkosnya 500 ribu. Lumayan mahal untuk kami yang hanya bertiga. Apalagi ada rumor yang beredar bahwa tukang perahu suka berhenti di tengah danau untuk minta tambah biaya. Kalau tidak tambah saat itu juga mesin Boat tidak dihidupkan. Waaa… bisa dibayangkan pucat pasinya. Terombang-ambing di tengah Danau Batur yang asing. Tapi rumor itu ditepis oleh penjaga dermaga. Dijamin kalau sekarang sudah tidak ada praktik-praktik semacam itu. Bagaimana dengan jalur darat? Konon jalannya rusak dan berbahaya. Maka klop sudah. Urunglah niat untuk mengunjungi negeri Bali Aga yang konon merupakan Hindu tertua di Bali. Agak kecewa tidak bisa melihat jenazah yang tidak berbau busuk walau jenazah diletakkan begitu saja di bawah pohon Taru Menyan. Penasaran bagaimana sosok si Taru Menyan ini kok bisa-bisanya menetralisir bau khas yang menyengat itu. Mungkin suatu saat akan kembali ke sana.
Tak terasa waktu hampir mendekati pukul 13.00 . Perjalanan dilanjutkan menuruni jalan berliku. Mendung bergelayut mau jatuh. Tujuannya ke Tirta Empul. Sebuah Patirtaan kuno yang mirip-mirip dengan Patirtaan Jalatunda di Gunung Penanggungan. Tirta Empul terletak di sebelah Barat Istana Presiden Tampak Siring. Pura ini terletak di Desa Manukaya, Kecamatan Tampaksiring, Kabupaten Gianyar. Air di Tirta Empul dianggap suci sehingga dipakai melukat (membersihkan diri) oleh masyarakat Bali. Karena masuk kawasan suci kompleks Tirta Empul, semua pengunjung wajib mengenakan selendang kuning diikat melingkar di bagian perut. Masuk pelataran pertama, disambut oleh pendopo luas di sebelah kanan. Kami berjalan lurus memasuki kompleks pemandian. Setelah melewati gerbang Bentar, di depan mata tampak kolam persegi panjang penuh berisi air menampakkan kekunoannya. Ukir khas Bali makin menambah kesan mistisnya. Deretan pancuran nampak memancarkan air segarnya ke kolam. Konon, mandi di Tirta Empul ini membawa berkah. Beberapa wisatawan asing dan domestik asyik berendam ria. Di tempat inilah tradisi melukat biasanya dilakukan warga Bali.
Setelah sejenak menikmati suasana, kaki mengajak terus melangkah ke halaman dalam pura. Banyak bale-bale di dalamnya. Ada beberapa bale yang dipenuhi arca dewa. Paling menarik perhatian adalah 2 Patung Naga Kembar yang ada di pojok halaman. Ukirannya istimewa. Artistik, citarasa seninya tinggi. Dengan adanya dupa dan pernak pernik alat peribadatan, makin tercipta suasana spiritual di sekitarnya. Saya membayangkan kalau seorang diri di tempat ini malam hari, pasti lari terbirit-birit. Setelah berjalan melewati patung naga dan dewa-dewa, kami berbelok ke kanan dan disuguhi dengan kolam besar. Disinilah asal air yang mengalir lewat pancuran di depan. Uniknya, sumber airnya tidak menetes atau merembes dari samping. Tapi menyembul dari dasar kolam sehingga menciptakan efek air beputar-putar di dasar kolam.
Sepeninggal Tirta Empul, sebenarnya mau mampir ke Istana Tampak Siring. tapi begitu sampai di halaman depan niat untuk masuk pun diurungkan karena melihat sosoknya yang gagah. Tentu perlu waktu lama untuk melihat dalamnya. Juga belum tentu diperbolehkan oleh si penjaga, he he he. Akhirnya putar balik dan meluncur ke bawah, menuju Goa Gajah.