Nikmati Semilir Bayu, Berkuda, dan Tebaran Candi di Gedong Songo (1)

Perjalanan ke ibukota, malam itu terhenti di Kota Solo. Tak terasa sudah 6 jam perjalanan dari rumah.  Melewati Mojokerto, Nganjuk,  Caruban, sampai  Ngawi. Segera, googling homestay murah di sekitaran  Masaran (Sragen). Tidak ada yang cocok dengan harapan. Ganti pilih penginapan/ hotel murah di Solo. 

Telisik sana telisik sini, dapat Hotel Reddorz. Sepertinya ini cocok.  Satu kamar dengan 2  Single Bed, berselempang merahDifotonya, nampak kondisi kamar, bed dan kamar mandinya bersih.  Dapat breakfast lagi. Harganya, lumayan murah. Cocok untuk bolanger alias blusuker! Maka, malam itu, saya dan Ali,  terbuai mimpi di Kota Solo.

Pagi, pukul 06.00, nasi Soto dan Teh panas sudah diantar room serviceke teras kamar.   Segera, kami tuntaskan menu sarapan ala Reddorz Solo ini. Setelah mandi, kami bergegas cek out. Melanjutkan perjalanan dinas ke Jakarta yang lumayan masih jauh. Waktu menunjukkan pukul 06.30. Saya pun melaju.

Selepas Solo, masuk Boyolali dan masuk Tol Salatiga. Tol ini berakhir di Semarang. Tapi, pagi itu, ada keinginan kuat untuk ke Ungaran. Di sana ada Candi Gedong Songo yang sudah menunggu. Maka, perjalanan  masuk tol Salatiga, berakhir di Bawen.  Pakai Google Map, akhirnya diarahkan meliuk-liuk di kaki dan lereng  Gunung Ungaran.  Lewat Ambarawa. Menyisir di dekat Telaga Rawa Pening yang eksotis.

Akhirnya tiba di Bandungan. Lha, kok  dekat dengan Monumen Palagan Ambarawa, saksi bisu heroiknya perjuangan yang dipimpin Jenderal Sudirman. Maka, tidak membuang kesempatan, maka mampirlah saya ke sana. 

Meninggalkan pelataran Monumen Palagan Ambarawa, kendaraan balik kanan. Sampai di sebuah pertigaan, diarahkan belok kiri. Lewat jalan yang sempit. Lalu, tanjakan demi tanjakan terlewati sampai akhirnya tiba ujung sebuah puncak bukit. Itulah pelataran parkir kompleks Candi Gedong Songo. Sesuai namanya, Gedong artinya gedung atau bangunan. Songo artinya sembilan. Konon ada sembilan bangunan (candi) di tempat ini.

(dok. pribadi)

(dok. pribadi)Setelah urusan tiket selesai, selalu lanjut ke toilet. Apalagi udara pagi di Gunung Ungaran lumayan dingin. Sangat mendukung urusan toilet ini. Sesaat kemudian saya bergegas menuju pintu gerbang Candi Gedong Songo. Beberapa lelaki nampak berkumpul di balik gapura pintu gerbang. Belum banyak pengunjung datang di pagi yang belum terik itu.

Saya kira pemeriksa tiket. Ternyata bukan. Mereka tidak menanyakan tiket malah nawari naik Kuda….Oooo, ternyata mereka penduduk lokal yang berprofesi sebagai tukang jasa penarik Kuda yang ditempat saya disebut Tukang Kuda atau Ejek. Kalau jasa motor namanya Ojek.

Mulanya saya menggeleng tawaran para tukang kuda ini, dan melanjutkan jalan kaki melewati deretan kios-kios dan beberapa warung.  Namun, dua diantara mereka setia membuntuti.  Akhirnya,  setelah saya pikir-pikir, apa salahnya dicoba. Apalagi setelah baca-baca di papan informasi.

Areal Candi Gedong Songo begitu luas. Saya membayangkan kaki akan ngilu berat jika mengunjungi tebaran candinya.  Akhirnya, deal…..   acara naik kuda pun dimulai. Biayanya, 100 ribu untuk Pak Ali dan saya 120 ribu. Lantaran saya ada kelebihan berat badan sekitar 10kg….. he he he

Awalnya, rute lewat  jalan datar berpaving. Salah satu tukang kuda membawa sapu kerik (sapu dari ranting kelapa). Mulanya saya nggak tahu untuk apa. Ternyata, untuk menyapu kotoran saat si Kuda buang hajat saat perjalanan. Lalu, tak sampai lima menit berjalan, tiba-tiba jalan menurun tajam, membuat bulu kuduk agak berdiri. Grogi juga!

Tukang kuda memberi instruksi agar badan condong ke belakang. Kaki menekan keras ke sanggurdi. Tali kekang dikencangkan. Saya sih nurut saja….. wong pingin selamat. Apalagi setelah turunan, langsung disambut tanjakan yang meliuk-liuk.  Kali ini instruksi Tukang Kuda berbeda. “Condongkan badan ke depan, longgarkan tali kekang Om“. 

Saya ikuti saja perintahnya. Karena kuda harus belok ke kanan dan ke kiri. Sesekali tali kekang saya tarik ke arah yang sesuai arah belokan.  Saya ikuti liukan punggung kuda di atas pelana sembari menikmati pemandangan indah di Ungaran. Bayangan-bayangan buruk pun segera sirna karenaya.

Si Kuda rupanya sangat terlatih melewati jalur ini. Walaupun tanjakan tinggi, berkelok-kelok, dia dapat memilih jalannya sendiri. Jalan yang lebarnya tak sampai dua meter itu memang terbagi dua. Bagian kanan rata dengan permukaan berbatu dan berpaving. Sedangkan sisi kiri selebar setengah meter dibuat bertangga-tangga. Ternyata si Kuda memilih lewat tangga-tangga ini. 

Yang membuat saya agak iba adalah kondisi sang Tukang Kuda. Untuk mengimbangi teman seperjuangannya menuntaskan tanjakan, nampak nafas pak Tukang Kuda pada ngos-ngos an. Untungnya tak sampai lima belas menit tanjakan dilibas oleh sang Kuda. Setelah melewati hutan Pinus, tibalah dipelataran luas. Saya diturunkan di sini.  “Itu  Candi V ada di puncak bukit,” kata pak Misno , yang kudanya saya naiki.  Sebelum menuju lokasi Candi tertinggi di Gedong Songo, saya menuju ibu-ibu penjual minuman di ujung pelataran. Saya  ambil 4 botol. Dua saya berikan Pak Misno dan temannya.  

Setelahnya, saya pun bergegas menuju puncak bukit. Menuju Candi V dari 9 Candi yang ada di kompleks ini. Untung saya pilih opsi naik kuda, pikir saya. Jika jalan kaki, bisa-bisa acara ke Jakarta makin tertunda. (bersambung)

(dok. pribadi)

(dok. pribadi)

(dok. pribadi)

(dok. pribadi)

(dok. pribadi)

(dok. pribadi)

(dok. pribadi)

(dok. pribadi)

(dok. pribadi)

Tinggalkan komentar